Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Belajar dari 'Mbah Ndhari'

BELAJAR DARI 'MBAH NDHARI'

Penulis: Ufi Isbar; Editor: ZackySedan

'Mbah Dhari', kata orang-orang perawakanya kecil, kulitnya sawo matang, kacamata tua tak pernah lepas dari wajah sepuhnya, sosoknya murah senyum, sorot mata yang teduh, tegas tapi berwibawa, Alim tapi tak jumawa laksana mutiara di dasar samudra dan satu lagi beliau sangat menyayangi keluarga.

Tentunya, orang Sedan dan sekitarnya tak asing lagi dengan beliau, beliaulah Almaghfurlah Kyai Khudhari atau lebih akrab disapa 'Mbah Ndhari' bagi masyarakat yang mengenalnya.
Dahulu saya memanggilnya 'Mbah Kakung', kakekku dari jalur Ibu. Aku sendiri tak lama merasakan timangan kasih nan sayang dari beliau, sebab ketika aku sedang diusia kira-kira tiga tahun beliau sudah keburu dipanggil kehadiratNya.
Pada saat itu, sesaat sebelum wafat, Beliau (Mbah Ndhari) memanggil Ibuku.
"Mana kacung?" (Red: Kacung digunakan untuk menyebut seorang anak kecil laki-laki) tanya beliau sambil berbaring lemah di atas dipan bambu.
"Gowo mrene, tak suwuk.e" (Bawa ke sini, biar saya suwuk) ucap beliau dengan nafas terbatuk-batuk.
Setelah itu beliau menyuwukku (Red: suwuk adalah kegiatan Meniup/mengusap ujung kepala) dan mendoakanku.
"Pinter cung..Pinter cung..Bejo dunia akhirat!", lirih beliau mengusap-usap kepalaku.
Memang tak banyak yang kutahu tentang beliau, tapi yang aku tahu adalah beliau adalah figur yang sangat disiplin dan penyayang terhadap keluarga. aku hanya sering dengar cerita tentang beliau dari Ibu atau dari Paman bibiku.

Sebagian orang menilai bahwa 'Mbah Ndhari' terkenal dengan kedisiplinanya kepada keluarga yang sangat luar biasa terutama masalah akhlaq dan pendidikan. beliau tidak memperbolehkan anak-anak perempuan beliau keluar rumah tanpa izin orang tua. bahkan Ibuku sendiri pernah bercerita bahwa Ibuku sempat berkeinginan untuk mondok tapi dilarang keras oleh Mbah Kung, "Wong wedok, ngaji ning omah wae." (Anak perempuan, mengaji di rumah saja). Beliau juga tak segan menghukum anak-anak beliau yang 'bandhel'. mulai dari menegur, menjewer bahkan hingga mencambuk dengan lidi sesuai dengan kadar kesalahan yang diperbuat.
Dari sini aku belajar bahwa hukuman seperti itu tak selamanya merupakan gambaran kekerasan justru menurutku itu adalah bentuk keadilan dan rasa tanggung jawab yang memang perlu dilakukan orang tua sebagai wujud pendidikan yang nantinya bisa mengajarkan anak tentang arti sebuah kedisiplinan.
Ada lagi orang yang mengenal 'Mbah Ndhari' sebagai orang pintar yang suwuk dan doanya manjur.
Ibuku pernah bercerita bahwa ketika Ibuku mengeluhkan sakit perut beliau minta suwuk kepada Mbah Ndhari, namun bukannya suwuk yang didapat tapi beliau malah menyodorkan obat. tapi anehnya obat yang diberikan Mbah Ndhari bukan obat sakit perut melainkan obat sakit panas. "Wes ojo kakehen takok, nang diombe. Poko.e nurut. InsyaAllah waras." (Sudah, jangan kebanyakan tanya, cepat diminum obatnya, yang penting menurut. Insyaallah sembuh). beberapa saat setelah diminum biidznillah sakit perutnya sembuh.
Dari sepenggal cerita ini bukan berarti beliau adalah orang keramat tapi aku menangkapanya seolah Mbah Ndhari ingin menyampaikan pesan kepada kita semua untuk selalu nurut dan nurut dengan orang tua. sejelek-jeleknya orang tua wajib kita hormati. doa orang tua laksana doa Nabi kepada ummatnya. Luar biasa mustajabnya.
Dari sudut pandang yang berbeda ada juga orang yang memandang Mbah Ndhari sebagai sosok Alim yang sederhana. beliau tak banyak berkata, beliau hanya berkata ketika memang dirasa itu perlu dan ada manfaatnya. meski di Sedan beliau sudah dipandang ilmunya mumpuni beliau tak suka dipanggil 'Kyai' beliau lebih suka dipanggil 'Mbah Ndhari' saja. setiap harinya beliau memenuhi kebutuhan keluarganya dengan bertani dan berkebun. bagi beliau pekerjaan itu lebih barokah. beliau berwasiat ketika meninggal, beliau tidak mau diadakan acara Haul yang besar-besaran.
Beliau bersama Sayyid Hamzah Syatho' dan para Ulama' Sedan saat itu bersama-sama merintis sebuah Madrasah yakni Madrasah Tuhfatus Shibyan (MATHUSHI) yang hingga kini masih kokoh berdiri dan merupakan Madrasah terbesar di Sedan. beliau juga ikut andil besar dalam pembangunan Masjid Jami' Sidorejo Sedan.


Satu pelajaran yang kita petik lagi adalah jangan sombong, sebanyak apapun hartamu, setinggi apapun jabatanmu, baik menjadi DPR, Kyai, atau apapun ingatlah itu semua hanya titipan dan amanat yang nantinya semuanya akan dipertanggung jawabkan.
Dan satu lagi, Bani Khudhori harus tetap memperjuangkan agama Allah, di manapun, kapanpun dan dengan cara apapun.
Semoga saja kita cucu cucunya ini dapat meneladani akhlaq dan ilmu beliau serta meneruskan perjuangan beliau. "Mbah Ndari" doakan kami, semoga kami menjadi orang-orang baik sepertimu, orang orang yang mewarisi akhlaq dan ilmumu.
Aaamiin...

ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﻏﻔﺮ ﻟﻪ ﻭﺍﺭﺣﻤﻪ ، ﻭﻋﺎﻓﻪ ﻭﺍﻋﻒ ﻋﻨﻪ
ﺍﻟﻔﺎﺗﺤﺔ

Mr.Z
Mr.Z Mencintai Sastra Sama Halnya Mencintai Kehidupan

Posting Komentar untuk "Belajar dari 'Mbah Ndhari'"